Saturday, March 29, 2008

Aspek Mental Bagi Wirausahawan

Kalau diperhatikan, aspek fisik bisa berpengaruh negatif atas kinerja usahawan dengan pencetusnya yang berasal dari kelelahan, kebiasaan-kebiasaan buruk serta timbulnya penyakit. Hal ini termasuk dalam katagori efek tak langsung.

Aspek mental dilain pihak, berpengaruh langsung kepada prestasi usahawan, karena yang menjadi pemicu pada umumnya adalah tantangan-tantangan yang harus dihadapi dalam bidang usaha itu sendiri. Kegagalan-kegagalan , kerugian-kerugian, tekanan pihak lain dan sebagainya merupakan sebagian kecil yang menjadi penyebab seorang pengusaha mengalami jatuh-mental (mental break-down). Sekali pengusaha jatuh mentalnya secara parah, ada harapan ia akan mangalami trauma, dan kemungkinan besar tidak pernah lagi berkeinginan untuk berwiraswasta.

Kejadian seperti itulah yang perlu diwaspadai sejak dini oleh mereka, kaum wiraswastawan. Karena mental adalah sesuatu yang tidak kasat mata, abstrak dan terletak didalam, aspek ini agak lebih sulit dideteksi kapan terjadi degradasi, rongrongan, pengikisan, dan lain sebagainya. Adakalanya, seorang individu yang tadinya merasa tidak ada masalah dengan mentalnya, pada saat terjadi suatu “bencana bisnis” (business disaster) seperti kerugian besar secara mendadak, atau kebangkrutan, langsung mengalami jatuh-mental yang parah. Pada kasus-kasus tertentu, ada yang mengakibatkan orang tersebut gila atau mungkin juga bunuh diri.

Salah satu contoh, pada waktu pusat perbelanjaan Harco didaerah Glodok Jakarta terbakar beberapa tahun silam, seorang pengusaha yang tokonya habis terbakar langsung berusaha bunuh diri, dengan jalan menelan sikat gigi !

Kejadian tersebut menunjukkan bahwa sipengusaha tidak siap secara mental. Dan hal ini, dengan berbagai ragam perwujudannya, banyak sekali terjadi dimana-mana. Seperti kisah Malcolm McGregor pada bab ini, tidak kurang dari tokoh-tokoh bisnis kelas gajah di Amerika, harus mengalami akhir hidup yang begitu mengenaskan akibat ketidak siapan mentalnya. Ada yang gila, ada yang bunuh diri dan ada yang harus masuk penjara sebelum meninggal.

Untuk mengantisipasi hal sedemikian, para wiraswastawan perlu membekali diri dengan nilai-nilai sikap mental yang kuat, baik, tangguh dan tahan banting. Bagaimana caranya ? Tahap pertama untuk mempersiapkan diri menjadi figur usahawan ulet, adalah dengan jalan belajar dan membuka wawasan tentang nilai-nilai yang dibutuhkan. Tahap kedua, melatih dan membiasakan diri untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajari, serta pada tahap ketiga, berusaha mempertahankan sikap mental yang sudah baik itu, melalui kebiasaan-kebiasaan hidup yang menunjang dan selaras.

Ada beberapa faktor, yang menjadi kunci keberhasilan pengusaha dalam membina dan mempertahankan ketahanan mental, yaitu: faktor intelejensia, motivasi dan proaktivitas. Intelejensia merupakan unsur kecerdasan, hubungannya adalah untuk memungkinkan orang meningkatkan pengetahuan serta keahlian. Motivasi menciptakan dorongan yang menggebu dalam mencapai suatu tujuan sedangkan proaktivitas selalu menuntun manusia dominan terhadap dirinya sendiri, tanpa goyah karena pengaruh, tekanan atau teror dari luar, baik orang lain ataupun lingkungan.

Wiraswastawan perlu memiliki intelejensia, karena dengan itu ia bisa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian, yang pada gilirannya nanti akan sangat membantu kiprahnya didunia usaha. Beberapa literatur menjelaskan bahwa intelejensia dapat dilatih, berdasarkan pendapat bahwa manusia akan semakin cerdas bila otaknya semakin sering dipergunakan untuk berpikir. Kenyataan memang menunjukkan, seperti telah disinggung sebelumnya, pengusaha itu adalah “pekerja otak”, dan setiap saat ia perlu berpikir untuk mengatur strategi bisnis, mencari terobosan-terobosan , memecahkan masalah-masalah dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu selalu dianjurkan agar pengusaha tetap konsisten belajar, mencari dan menambah ilmunya disegala disiplin agar bisa membuat diri dan perusahaannya menjadi kuat serta memiliki kesadaran teknologi (technology awareness) dan inovatif dalam meciptakan produk-produk baru.

Dengan intelejensia, seseorang bisa meningkatkan intelktualitas (keterpelajaran) , selanjutnya intelektualitas mampu mendekatkankan teknologi, akhirnya teknologi dapat menjadi tulang punggung sebuah perusahaan. Seperti ungkapan yang sering didengung-dengungka n saat ini, siapa menguasai informasi dan teknologi, dia akan menguasai pasar.

Setelah intelejensia, faktor motivasi merupakan salah satu aspek mental yang esensial bagi calon pengusaha. Motivasi adalah motor penggerak yang wajib dimiliki oleh setiap wiraswastawan. Tanpa motivasi, tidak mungkin ada kemajuan yang berarti didunia ini, dan tanpa motivasi tidak akan ada manusia yang bisa menjadi tokoh sukses.

Ciputra, bos kelompok Pembangunan Jaya pernah ditanya oleh para wartawan yang mewawancarainya, tentang faktor apa sebenarnya yang paling pertama bisa menyebabkan ia dan kelompoknya begitu sukses. Teryata Ciputra menjawab : “Motivasi..!” Ketika waratawan melanjutkan pertanyaannya “Yang kedua..?” Dijawab lagi : “Motivasi..!”

Wartawan mengejar terus : “Yang ketiga..?” Lagi-lagi jawabannya : “Motivasi..!”

Dari jawaban-jawaban yang diberikan Ciputra, bisa kita maklumi betapa pentingnya faktor motivasi dalam menentukan keberhasilan seorang pengusaha. Motivasi akan bisa mengatasi segala rintangan yang paling berat, dan motivasi bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin bagi orang lain, menjadi mungkin bagi kita. Kalau tidak, bagaimana mungkin Wright bersaudara bisa berhasil menciptakan sebuah kendaraan yang dapat terbang diudara ? Bagaimana mungkin Marconi bisa menciptakan radio yang bisa menangkap sinyal suara dari udara ? Bagaimana Bill Gates bisa menguasai dunia hanya dengan perangkat lunak komputer ?

Semua pengusaha yang ingin berhasil, harus didukung oleh kemauan, semangat dan motivasi yang ultra kuat. Tanpa itu, pengusaha yang bersangkutan akan segera menyerah dan menutup perusahaannya segera setelah mengalami dua-tiga kali kegagalan saja. Padahal, kegagalan adalah bagian dari sebuah proses, bukan sebuah terminal akhir.

Seorang bayi yang baru lahir, harus mengalami jatuh-bangun berkali-kali sampai puluhan kali sebelum akhirnya ia bisa berjalan di atas kedua kakinya sendiri secara sempurna. Sama halnya seperti pengendara sepeda, sebelum ia menjadi mahir, serangkaian proses jatuh-bangun yang panjang, harus dilaluinya. Inilah hal yang perlu disadari oleh semua calon pengusaha, bahwa keberhasilan yang didambakan harus dibayar dengan proses perjuangan yang panjang. Sebuah proses, yang tidak ada jalan pintasnya. Suatu peraturan alam yang tidak bisa dibantah.

Memang, alam telah menentukan bahwa untuk memperoleh suatu kesempurnaan yang sejati alami, segalanya harus diproses secara alami pula. Tidak mungkin memotong jalan, tidak pula bisa direkayasa. Buah mangga yang diperam atau dikarbit, akan hambar rasanya. Ayam negri, tidak bisa segurih ayam kampung. Begitu juga dengan pengusaha. Mereka yang dikarbit, direkayasa dengan pemberian fasilitas dan kemudahan lobi, akan menjadi pengusaha yang rapuh.

Memiliki motivasi yang kuat, menghendaki orang untuk selalu berpikir positif. Misalnya, bila sekarang kita dalam keadaan berkecukupan, maka artinya kita berkesempatan untuk membantu orang lain. Sebaliknya, bila sedang dalam keadaan serba terjepit, kita tetap dapat tersenyum karena inilah saatnya membuktikan bahwa dengan kepiawaian diri sendiri kita akan mampu menaklukkan tantangan. Kalau kita berhasil, berarti kita memerlukan tantangan lebih lanjut yang lebih berat, kalau kita gagal artinya kita masih harus lebih banyak belajar dan meningkatkan usaha, serta lebih “tancap gas”.

Motivasi seorang wirausahawan handal, lebih condong menyerupai motivasi para petualang (avonturis). Tentu saja dalam hal ini yang kita bicarakan adalah petualang dalam artian positif, seperti misalnya para pendaki gunung, penerjun payung, pemburu, petinju dan lain-lain. Para petualang adalah mereka yang bisa menikmati setiap situasi menekan, berbahaya, menegangkan dan berisiko sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Mereka bisa menerima stress sebagai suatu berkah. Donald H. Weiss menulis, bahwa ada 2 macam stress didunia ini, yang pertama bersifat positif, disebut eustress, sedangkan yang kedua, bersifat negatif, dinamai distress. Para pendaki gunung sebenarnya mengalami stress saat mereka memanjat tebing yang berbahaya, akan tetapi ketegangan itu terasa menyenangkan sekali. Mereka selalu ingin mengulangi saat-saat berbahaya itu. Dengan demikian, para petualang menerima suatu keadaan yang menekan secara positif, sehingga stress yang mereka terima adalah eustress.

Suatu keadaan yang sama, yang menghasilkan eustress bagi seseorang, bisa mengakibatkan distress bagi orang lain. Oleh karenanya, seseorang yang tidak memiliki hobi mendaki gunung, tidak akan memiliki kesiapan mental dalam menghadapi situasi-situasi menegangkan dalam suatu pendakian, sebagai akibatnya, ia akan mendapatkan distress.

Dunia wiraswasta condong menyerupai dunia petualangan, sehingga sedikit banyak diperlukan juga naluri petualangan, dalam artian positif. Pengusaha harus bisa menghadapi semua tekanan, permasalahan, tantangan bahkan kegagalan sebagai eustress, dan terbangkit semangat dan motivasinya yang bergelora untuk mengalahkan semua keadaan negatif tersebut. Tanpa kesiapan seperti itu, seorang pengusaha pemula bisa merana hidupnya.

Lebih jauh, perlu dimengerti sebuah logika yang mengatakan bahwa makin banyak seseorang mengalami kejatuhan atau kegagalan, maka makin matanglah orang tersebut dalam bidangnya. Kalau ini sudah bisa dimengerti, selanjutnya wiraswastawan perlu menganut sebuah falsafah, yang disebut sebagai “falsafah pegas”. Sifat pegas ialah, bila makin ditekan kebawah, ia akan menghasilkan tenaga lentingan keatas yang semakin besar. Artinya, makin banyak pengalaman usahawan dengan kegagalan dan kejatuhan, akan makin tinggilah tingkat kesuksesan yang berhasil dicapai pada akhirnya.

Proaktivitas melengkapi kualitas wiraswastawan. Motivasi seorang wiraswastawan sebagaimana yang dipaparkan dibagian atas, harus berjalan seiring dengan proaktivitasnya. Karena, untuk bisa mengubah persepsi kita tentang suatu tekanan dari luar, yang tadinya mungkin dirasakan sebagai distress, diperlukan kadar proaktivitas yang cukup tinggi, guna memungkinkan hal tersebut diterima sebagai eustress.

Jadi, hakekat proaktivitas sebenarnya adalah, kemampuan seseorang untuk mengendalikan sudut pandangnya atas segala keadaan lingkungan, kejadian, tekanan, rangsangan, provokasi, teror, dan segala sesuatu yang datangnya dari luar, agar supaya dirinya tidak terpengaruh dan tetap mampu melaksanakan semua rencana yang sudah dibakukan, sampai tercapai apa yang dicita-citakan.

Semua orang yang proaktif, termasuk wirausahawan, harus mampu menangkal semua godaan dari luar mulai dari yang remeh sampai yang dahsyat, termasuk keadaan lingkungan yang menimbulkan kesal seperti kemacetan lalu lintas, cuaca buruk, keadaan ekonomi yang ambur adul, juga rongrongan orang sekitar, provokasi dari pesaing bisnis, pelanggan yang rewel, cemoohan orang dan lain-lain sebagainya.

No comments: