Friday, June 27, 2008

Sarjana Bermental Wirausaha.

PROBLEM menganggur bagi sarjana masih menjadi momok. Mereka akan berbondong-bondong untuk memburu kesempatan kerja ketika lowongan pekerjaan dibuka. Padahal, kesempatan kerja menjadi pegawai, baik di swasta maupun pegawai negeri sipil (PNS), tentu sangat terbatas. Seringkali sangat tidak seimbang antara jumlah peminat dengan kapasitas daya tampung. Pengumuan penerimaan calon PNS tiap tahun selalu dibanjiri para pemburu kerja, terutama para sarjana.

Masalah selalu berulang; ketika akan kuliah sudah berhadapan dengan kompetisi meraih tiket kursi kuliah di perguruan tinggi (PT). Dengan berkesempatan mengenyam kuliah di PT yang diidamkan, akan lebih mudah memperoleh pekerjaan, tanpa bersusah payah berkompetisi. Tetapi saat atribut sarjana sudah didapat, ternyata mereka dibelit dengan persoalan lapangan kerja. Akhirnya sarjana hanya menjadi bagian dari antrean beban angkatan tenaga yang bertambah setiap tahunnya.

Menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2006, jumlah pengangguran terbuka mencapai 11,104,693 orang. Pengangguran yang tidak lulus atau lulus sekolah dasar (SD) mencapai 3,524,884 orang. Lulusan sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 2,860,006 orang; lulusan sekolah menengah atas (SMA) sebanyak 4,047,016 orang. Lulusan akademi/diploma sebanyak 297,185 orang, dan jumlah sarjana yang masih menganggur berjumlah 375,601 orang.

Menurut Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, M Tri Sambodo, angka pengangguran baru pada 2007 akan bertambah 1,6 juta orang, yang tentu di dalamnya termasuk lulusan PT.

Tingginya tingkat pengangguran yang dialami oleh para lulusan PT menandakan bahwa para sarjana masih menjadi problem dan penambah beban berat angkatan kerja. Problem itu hendaknya menjadi perhatian semua pihak, baik oleh PT maupun alumnus, dan semua pihak yang memiliki kepentingan bagi masa depan anak bangsa dalam rangka ikut mengatasi angka pengangguran, terutama pengangguran terdidik.

Para sarjana yang terjun ke masyarakat lebih memilih mencari pekerjaan dengan menjadi pegawai swasta atau negeri daripada bersusah payah membuat pekerjaan untuk dirinya sendiri.

Orientasi tak mau bersusah payah dan meraih kesuksesan secara instan telah menjangkiti angkatan kerja usia produktif. Dampak dari perkembangan dan kemajuan teknologi yang membuat manusia mudah untuk memperoleh kebutuhan, ternyata berdampak kepada rendahnya mental untuk berusaha dan bersusah payah ketika problem kehidupan mereka alami.

Karena itu, perlu ada satu kesadaran kolektif dalam upaya mengatasi problem ketenagakerjaan, terutama para sarjana sebagai tenaga kerja terdidik.

Karakter Wirausahawan

Salah satu upaya untuk mengatasi dan mencegah pengangguran bagi kalangan terdidik, terutama para sarjana, adalah perlu secara serius mempersiapkan generasi sarjana enterpreneur (wirausahawan).

Menurut Ir Ciputra, pendiri Universitas Ciputra, bangsa Indonesia perlu melakukan lompatan kuantum untuk menanggulangi masalah pengangguran dan kemiskinan dengan menerapkan pendidikan kewirausahaan.

Dengan demikian akan tercipta generasi sarjana pencipta kerja, bukan pencari kerja, sehingga potensi kekayaan alam yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk mencapai kemakmuran bangsa.

Pendidikan kewirausahaan bukan semata-mata untuk kepentingan dunia bisnis, melainkan setiap lapangan pekerjaan yang memiliki semangat, pola pikir, dan karakter enterpreneur akan membuat perbedaan, perubahan, dan pertumbuhan positif dalam profesi dan pekerjaan mereka di luar bidang dunia bisnis. Jiwa enterpreneur akan memiliki daya kreatif dan inovatif, mencari peluang dan berani mengambl risiko.

Pendidikan enterpreneur akan memberikan karakter para sarjana memiliki mental dan moral yang kuat, jiwa kemandirian, dan sikap ulet (tahan banting), pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, serta mampu mengahadapi persaingan global.

Dengan sikap kreatif, mandiri, ulet, dan didukung dengan karakter yang baik, maka para sarjana akan mampu mengatasi problem dirinya sendiri. Bahkan bisa memberikan kontribusi dalam ikut memecahkan problem kehidupan yang dihadapai oleh masyarakat.

Menurut Ciputra, dengan mengutip ahli sosiologi David McCelland (Kompas, 24/10), suatu negara bisa menjadi makmur bila memiliki sedikitnya dua persen enterpreneur dari jumlah penduduk tersebut. Dari data statistik, saat ini di Indonesia baru memiliki 0,18 % enterpreneur atau sekitar 400,000 dari penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 220 juta jiwa.

Dalam lingkup yang berbeda, Dr Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, yang belum lama ini mempertahankan disertasinya tentang "Signifikansi Peran Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemerintah Daerah" di Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta dengan memperoleh predikat cumlaude, menyatakan bahwa manajemen kewirausahaan sangat signifikan menentukan kinerja pemerintah daerah (Suara Merdeka, 28/10).

Dalam paradigma sistem kewirausahaan, pemerintah diajak untuk tidak mengutamakan sistem dan prosedur, tetapi lebih beroreintasi kepada kinerja dan hasil kerja dengan mengutamakan jiwa dan semangat enterpreneurship.

Seorang pemimpin daerah juga harus mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, sehingga prestasinya bisa dinikmati oleh masyarakat.

Agaknya, jiwa kewirausahaan sudah harus menjadi bagian dari desain utama (grand design) dalam kurikulum pendidikan di PT. Melihat timpangnya antara kesempatan kerja dengan jumlah angkatan kerja yang membengkak tiap tahun, perlu upaya serius dari dunia pendidikan, terutama PT, untuk ikut membekali para mahasiswanya dengan pendidikan kewirausahaan.

Jika para sarjana memiliki sikap dan mental kemandirian yang ditumbuhkan melalui pendidikan kewirausahaan, maka tidak canggung lagi setelah terjun di masyarakat. Seandarinya satu orang sarjana bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk satu orang saja, maka paling tidak problem pengangguran dapat berkurang dua orang.

Ribuan sarjana yang menciptakan lapangan pekerjaan masing-masing sebanyak satu orang, maka dua kali lipat dari ribuan tersebut, beban pengangguran akan teratasi.

Angkatan kerja dengan tingkat pendidikan sarjana seharusnya sudah tidak lagi menjadi problem ketenagakerjaan di Indonesia. Sebab, dengan tingkat pendidikan yang memadai seharusnya sarjana menjadi kontributor untuk memecahakan problem ketenagakerjaan. Paling tidak, para sarjana tidak semata-mata berorientasi untuk menjadi pegawai, terutama PNS, karena menjalani pekerjaan terhormat tidak hanya menjadi pegawai dan atau PNS.

Sumber : www.yukbisnis.com

No comments: